Beberapa waktu lalu ada yang berkomentar di blog saya bahwa ada penelitian yang menyatakan bahwa orang yang mengaku habib/sayid itu kebanyakan bukan benar-benar keturunan Nabi. Saya sendiri belum membaca papernya, namun cuma dapat informasi bahwa pengarangnya adalah "Mun'im A Sirry". Saya cek tentang orang ini, ternyata dia adalah tokoh liberal. Berikut ini keterangan tentang pengarang tersebut:
Sumber: http://vuax.blogspot.com/2011/06/membuka-kedok-tokoh-tokoh-liberal-dalam.html
Mun'im A. Sirry, Dia adalah peneliti pada Yayasan Wakaf Paramadina. Ia pernah nyantri di Pondok Pesantren TMI al-Amien Prenduan Sumenep Madura (1983-1990) di bawah asuhan KH. Moh. Idris Jauhari. Ia menyelesaikan S1 dan S2 pada Faculty of Saria'a and Law International Islamic Univercity, Islamabad, Pakistan (1990-1996) dan menerima beasiswa Fullbright untuk melanjutkan studinya ke Amerika Serikat. Beberapa karya tulisnya adalah Membendung Militansi Agama (Jakarta: Penerbit Erlangga, September 2003), Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim dalam Transisi Indonesia (Jakarta: Gugus Media, Mei 2002), Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Jakarta: Risalah Gusti, Juli 1995) ci-author Mutiara Terpendam: Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), Melawan Hegemoni Barat (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), editor dan penerjemah buku Islam Liberalisme Demokrasi (Jakarta: Paramadina, 2002). Menerjemahkan beberapa buku antara lain Islam Ditelanjangi.
"Prestasi" Mun'im dalam mengembangkan paham pluralisme di tanah air terukir dengan dikeluarkannya buku berjudul Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif- Pluralis yang diterbitkan Yayasan Wakaf Paramadina bekerja sama dengan The Asia Foundation pada 2003. Buku ini cukup menghebohkan dan menuai banyak kritikan. Berbagai debat, diskusi, dan seminar diadakan membahas buku tersebut. Bahkan ada beberapa buku terbit khusus men-counter keberadaan buku tersebut. Walhasil, hanya dalam waktu 1,5 tahun buku Fiqih Lintas Agama sudah naik cetak sampai 7 kali cetak.
Buku tersebut ditulis bareng-bareng oleh sebuah tim yang terdiri dari Zainun Kamal, Nurcholish Majid, Masdar F. Mas'udi, Komaruddin Hidayat, Budhy Munawar-Rahman, Kautsar Azhari Noer, Zuhairi Misrawi, dan Ahmad Gaus AF. Dalam kata pengantarnya Mun'im menyatakan maksud dikeluarkannya buku tersebut.
"Sejauh yang kita amati, Fiqih klasik cenderung mengedepankan sudut pandang antagonistik bahkan penolakan terhadap komunitas agama lain. Banyak konsep Fiqih menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam sehingga berimplikasi meng-exlude atau mendiskreditkan mereka. Buku ini lahir dari keprihatinan itu sembari bermaksud membuka lanskal keberagamaan yang lebih jauh terbuka dan toleran." (kata pengantar editor, hal. X)
Buku tersebut terdiri dari empat bagian. Bagian pertama tentang Pijakan Keislaman bagi Fiqih Lintas Agama (berisi Ajakan Titik Temu Antar Agama, Semua Agama adalah Kepasrahan kepada Tuhan, Konsep Ahli Kitab, Kesamaan Agama), bagian kedua tentang Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam (berisi Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim, Mengucapkan Selamat Natal dan Hari Raya Agama Lain, Menghadiri Perayaan Hari Besar Agama Lain, Do'a Bersama dan Mengijinkan Non Muslim Masuk Masjid), bagian ketiga tentang Menerima Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama (berisi Fiqih Teosentris, Konsep Ahlu Dzimmah, Konsep Jizyah, Kawin Beda Agama, Waris Beda Agama, Budaya Menerima yang Lain) dan bagian terakhir tentang Meretas Kerjasama Lintas Agama (berisi Bentuk-bentuk Dialog Agama dan Bentuk-bentuk Kerjasama).
Dalam buku tersebut, tanggapan paling banyak adalah soal nikah beda agama. Dikatakan di dalam buku tersebut, "Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apa pun agama dan aliran kepercayaannya." (hal. 164)Penutup
Kalau melihat apa yang pernah dikerjakannya, nampaknya memang betul-betul liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar