Sabtu, 24 Maret 2012

Bagaimana Allah Mengubah Nasib Suatu Kaum



Bangsa Indonesia saat ini berada dalam keadaan yang kurang baik, walaupun ada yang menyatakan bahwa mayoritas orang Indonesia bahagia. Banyak korupsi, banyak tindak kejahatan, banyak bencana banyak orang miskin, dan macam-macam lagi.

Petunjuk untuk memperbaiki hal ini salah satunya disebutkan di surat Al Ra'ad ayat 11:
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia."
Jadi untuk dapat memperbaiki keadaan bangsa ini, yang perlu dilakukan adalah mengubah apa yang ada dalam diri manusia-manusianya, yaitu apa yang ada dalam hatinya. Hal-hal yang perlu diperbaiki ini secara garis besar dapat dibagi menjadi Aqidah (Keyakinan), Syariat (amalan fisik) dan Tasawuf (amalan batin).

Namun demikian ada juga yang menafsirkan surat tersebut dengan berbeda, yaitu "Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah dirinya sendiri". Kalau ditafsirkan seperti itu, artinya kemajuan kaum tersebut sepenuhnya urusan orang-orangnya, tidak ada bantuan  Allah di situ. Jika demikian, artinya keyakinan dapat bergeser ke arah Qadariah, yaitu meyakini bahwa perbuatan manusia adalah hasil dari manusia itu sendiri, bukan dari Allah.

Salah satu kritikan terhadap perkara ini dituliskan oleh KH Siradjuddin Abbas. Berikut ini kutipan dari buku "Sejarah & Keagungan  Madzhab Syafi'i" yang ditulis oleh KH Siradjuddin Abbas:
Ada orang yang lancang lagi berfatwa di atas mimbar dengan mengatakan "Tuhan tidak bisa merobah nasibmu kalau kamu sendiri tidak merubahnya".
Alasan yang dikemukakan ialah firman Tuhan:
"Bahwasanya Allah tidak bisa merobah nasib suatu kaum kecuali kalau mereka merobah sendiri" (Ar Ra'ad:11)Apakah benar tafsir yang macam ini?
Lihatlah kitab-kitab tafsir yang dipercaya seperti Jalalein, Khazein, Ibnu Katsir, dlll. Tafsir Jalalein mengatakan: "Tuhan Allah tidak emngambil kembali ni'mat-Nya dari mereka, hingga mereka merobah apa yang ada pada mereka, yakni dari kelakuan-kelakuan yang baik dirobah menjadi kelakuakn-kelakuan ma'siat" (Jalalein jilid II halaman 249, yaitu kitab yang dicetak bersama-sama Shawi). 
Tafsir Khazein mengatakan "Bahwasanya Tuhan Allah tidak merobah apa yang ada pada kamu, yakni sifat dan ni'mat yang telah diberikan kepada mereka, kecuali kalau mereka merobah apa yang ada pada mereka, yaitu hal-hal yang baik ditrukarnya dengan mendurhakai Tuhan dan mendurhakai ni'matNya itu" (Khazein, juz 4, halaman 4).
Jelaslah menurut tafsir yagn dipercaya bahwa arti ayat itu ialah:
"Bahwasanya Tuhan Allah tidak akan mengambil kembali ni'mat yang telah diberikan kepada seseorang, kecuali kalau orang itu sudah mendurhakai Tuhan, yakni tidak memakai ni'mat menurut semestinya sesuai dengan kehendak Tuhan yang memberikan ni'mat itu".
Bukanlah artinya sebagai yang didengung-dengungkan oleh "Mujtahid gadungan", yaitu: "Tuhan tidak akan merobah nasib kalau tidak mereka sendiri merobahnya".
Untuk memperjelas tafsir ayat ini, Tuhan berfirman lagi:
Artinya: "Hal itu (terjadi disebabkan karena Allah tidak merobah ni'mat yang telah diberikanNya kepada sesuatu kaum, kecuali kalau kaum itu sudah merobah hal mereka sendiri (dari tha'at menjadi durhaka) An Faal :53

Rabu, 21 Maret 2012

Tentang Tawasul

Sebuah tulisan tentang tawasul:

Soal tawasul itu di dalam ajaran Islam kedudukannya jaiz atau dibolehkan (mubah) untuk melakukannya. Allah memberikan jalan-jalan yang mana doa-doa yang kita panjatkan itu lebih cepat dikabulkan melalui tawasul. Dan tujuannya adalah utk dapatkan taqwa. Di dalam surah Al Maidah 34 dan 35 Allah berikan panduan kepada kita untuk bertawasul. Sayidina Umar RA telah tunjukkan kpd kita dengan berdoa memohon turun hujan dengan menyebut nama paman Rasulullah yakni sayidina Abbas RA sehingga turun hujan dengan izin Allah. Banyak lagi dalil-dalil tentang dibolehkannya bertawasul ini, kita bisa merujuk kitab yg berjudul "Aqidah Ahlussunah wal Jamaah" karangan Kiyai Haji Sirajuddin Abbas.

Jadi dalam bertawasul kita meminta kepada Allah dengan menyebut nama orang-orang yang dicintai oleh Allah swt seperti para Nabi, Rasul ataupun para awliya (para wali / kekasih-kekasih Allah).

Seperti mana kalau kita mau meminta proyek kepada orang penting spt Presiden maka kita menyampaikan permohonan kita itu melalui orang yang dekat dengan Presiden sepaya permintaan kita itu diterimanya. Tapi dalam hati kita tetap meminta dari Allah, bersandar kepada Allah dan bergantung hanya kepada Allah. Bilamana permohonan tertunai, maka kita yakin Allah lah yang telah menerimanya dan mengabulkannya karena Allah lah saja yg Maha Berkuasa diatas segala sesuatu.

Sama keadaannya seperti waktu kita makan untuk hilangkan lapar. Ikhtiar kita adalah dengan makan tapi yang menghilangkan rasa lapar itu adalah Allah bukan lah makanan itu. Karena yang ada kuasa untuk menghilangkan rasa lapar itu adalah hanya Allah. Makhluk apapun tidak ada sedikitpun kuasa melainkan kuasa yg Allah telah izinkan dengan kadar tertentu saja tidak lebih. Wallahu a'lam semoga bermanfaat.

Tulisan lain tentang tawasul: http://kawansejati.org/tawasul

Selasa, 20 Maret 2012




Republika edisi kemarin  (20 Maret 2012) ada membahas mengenai Nur Muhammad. Tumben ada pembahasan seperti itu di koran tersebut. Pembahasan di situ tidak menyebutkan mana yang merupakan dalil hadis/Al Quran dan  mana yang ulasan para ulama. Kalau ada waktu saya ingin juga mengumpulkan referensi mengenai Nur Muhammad tersebut.

Sabtu, 17 Maret 2012

Adab Makan

Membaca basmalah dan hamdalah


1. Dari Umar bin Salamah ra., ia berkata: Rasulullah SAW,bersabda: “Sebutlah nama Allah (bacalah basmalah), danmakanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah dari makanan yang dekat dengan kamu.” (HR. Bukhari danMuslim)

2. Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian makan, hendaklah ia menyebutkan nama Allah Ta’ala. Apabila lupa menyebut nama-Nya sewaktu memulai makan, hendaklah ia membaca: “BISMILAHI AWWALAHU WA AKHIRAHU”(Dengan menyebut nama Allah pada permulaan dan penghabisan makan)!” (HR.Abu Daud dan Tirmidzi)

3. Dari Jabir ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Apabila seseorang masuk ke rumahnya, lalu berdzikir kepada Allah Ta’ala ketika ia masuk, dan sewaktu makan, maka setan berkata (kepada temannya): ‘Kamu tidak bisa ikut masuk dan kamu tidak bisa ikut makan.’ Dan apabila seseorang tidak berdzikir kepada Allah Ta’ala ketika masuk rumahnya, maka setan berkata: ‘kamu dapat mengikutinya masuk.’ Dan apabila seseorang tidak berdzikir kepada Allah Ta’ala sewaktu makan, maka setan berkata (kepada temannya): ‘Kamu bisa ikut makan dan bisa ikut masuk.’” (HR. Muslim)

4. Dari Hudzaifah ra., ia berkata: Apabila kami makan bersama Rasulullah SAW, kami tidak berani meletakkan tangan ke tempat makanan sebelum Rasulullah SAW, meletakkannya terlebih dahulu. Suatu saat, ketika kami akan makan bersama beliau, tiba-tiba datanglah seorang wanita tergesa-gesa, seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya. Ia langsung meletakkan tangannya ke tempat makanan, tetapi Rasulullah SAW, memegang tangannya. Kemudian datanglah seorang Badui terburu-buru seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya. Ia langsung meletakkan tangannya ke tempat makanan, maka dengan cepat Raslullah SAW, memegang tangannya, seraya bersabda: “Sesungguhnya setan itu merebut makanan yang tidak disebut nama Allah.

Sesungguhnya setan datang bersama-sama wanita ini untuk merebut makanan, maka aku pegang tangannya. Kemudian ia datang bersama-sama orang Badui ini untuk merebut makanan, maka kau pegang tangannya. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya tangan setan ini saya pegang bersama-sama kedua tangan orang ini.” Kemudian Rasulullah menyebut nama Allah Ta’ala dan memulai makan.” (HR. Muslim)

5. Dari Umayya bin Makhsyiy Ash-Shahabiy ra., ia berkata:
“Ketika Rasulullah SAW, duduk ada seseorang makan tanpa menyebut nama Allah, sehingga hampir habis makanannya, hanya tinggal sesuap. Ketika ia akan menyuapkan ke mulutnya ia membaca: BISMILAHI AWWALAHU WA AKHIRAHU.” Melihat yang demikian Nabi SAW, tersenyum dan bersabda: “Setan itu selalu makan bersamanya, namun ketika ia menyebut nama Allah, maka setan itu memuntahkan apa yang ada dalam perutnya.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i)

6. Dari Aisyah ra., ia berkata: Ketika Rasulullah SAW, sedang makan bersama enam orang sahabatnya, seorang Badui datang dan makan sebanyak dua kali suapan. Kemudian Rasulullah SAW, bersabda: “Seandainya ia menyebut nama Allah, niscaya mkanan itu cukup untuk kallian.” (HR. Tirmidzi)

7. Dari Abu Umamah ra., ia berkata: Apabila Nabi SAW, mengangkat hidangannya, beliau membaca: ‘ALHAMDU LILLAAHI HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI GHAIRA MAKFIYYIN WALAA MUSTAGHNAN ‘ANHU RABBANAA’(Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan baik serta penuh berkah yang tiada terbalas dan sangat dibutuhkan, wahai Tuhan kami).” (HR. Bukhari)

8. Dari Muadz bin Anas ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa saja yang telah makan, kemudian membaca: ‘ALHAMDULILLAAHI ATH ‘AMANII HAADZAA WARAZAQINIIHI MIN GHAIRI HAULIN MINNII WALAA QUWWATIN’(Segala puji bagi Allah, Zat yang telah memberi makanan ini kepada saya, dan telah mengkaruniakan rezeki dengan tiada daya dan kekuatan dari diri saya), maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Daud dan tirmidzi)

Dilarang mencela makanan
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah tidak pernah mencela makanan. Apabila beliau menyukainya, beliau memakannya, dan apabila tidak menyenanginya, maka meninggalkan makanan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Dari Jabir ra., ia berkata: Nabi SAW, pernah menanyakan lauk kepada keluarganya, kemudian mereka menjawab: “Kami tidak mempunyai apa-apa selain cuka.” Maka beliau meminta cuka itu, dan makan berlauk cuka, seraya bersabda: “Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR.Muslim)

Sikap orang yang berpuasa
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian diundang, hendaklah ia menghadirinya. Jika ia sedang berpuasa, hendaklah ia mendoakan, dan jika tidak berpuasa hendaklah ia makan.” (HR. Muslim)

Sikap orang yang diundang makan
2. Dari Abu Mas’ud A-Badriy ra., ia berkata: “Ada seseroang mengundang Nabi SAW, untuk jamuan makan yang disiapkan bagi lima orang, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka. Ketika sampai di muka pintu, Nabi SAW, menjelaskan kepada orang yang mengundangnya: “Sesungguhnya orang ini mengikuti kami, maka terserah kamu. Apabila kamu suka, izinkanlah orang ini, apabila tidak, biarlah orang ini pulang!” Orang yang mengundang itu berkata: “Wahai Rasulullah, saya mengizinkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adat makan
1. Dari Umar bin Abu Salamah ra., ia berkata: “Waktu kecil, saya diasuh Rasulullah SAW, dan pernah mengulurkan tangan untuk mengambil makanan yang terletak di piring, kemudian beliau bersabda kepada saya: “Wahai anak muda, sebutlah nama Allah Ta’ala serta makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari makanan yang dekat dengan kamu!” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Dari Salamah bin Al-Akwa ra., ia berkata: Ada seseorang makan di hadapan Rasulullah SAW, dengan menggunakan tangan kirinya, kemudian beliau bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu!” Ia menjawab: “Saya tidak bisa.” Beliau bersabda: “Kamu tidak bisa, karena kesombonganmu.” Setelah itu orang tersebut tidak bisa mengangkat tangannya ke mulut.” (HR. Muslim)

Larangan makan kurma atau sejenis dua butir sekaligus
1. Dari Jabalah bin Suhaim, ia berkata: “Kali tertentu, kami bersama dengan Ibnu Zubair mengalami musim paceklik. Tiba-tiba kami mendapatkan rezeki kurma. Waktu Abdullah bin Umar ra., lewat, ia mendapati kami sedang makan kurma. Kemudian ia berkata: “Janganlah kalian makan dua butir kurma atau lebih sekaligus! Sesungguhnya Nabi SAW, melarang untuk makan dua butir kurma atau lebih sekaligus.” Kemudian ia berkata lagi: “Kecuali orang itu minta izin kepada kawannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

MEMPERBANYAK KAWAN DISAAT MAKAN
1. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW, bersabda: “Makanan dua orang cukup untuk tiga orang, dan makanan tiga orang cukup untuk empat orang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Dari Jabir ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Makanan satu orang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR. Muslim)